GABRIELLE DAN HADID
Tangan
perempuan itu masih saja menggenggam kertas tebal berwarna coklat yang baru
saja ia dapatkan. Ia bahkan tak tahu ini akan terjadi. Kenapa? Kenapa dia
begitu bodoh?
HP touchscreen
nya tiba-tiba saja bernyanyi membuatnya tersadar kembali kedunianya.
“Ada apa? Aku
sedang disekolah. Ya ya aku ingat, nanti aku akan kesana,” perempuan itu
menghela nafasnya sambil menutup sambungan telepon dan melempar HPnya begitu
saja ke sofa.
“Bril?”,
Terdengar suara teman yang dikenalnya mengetuk pintu ruangan.
“Ya, ada apa?”
sahut Gabrielle dengan suara hampir tidak terdengar.“Kau tidak melupakan acara ulang tahun teman kita kan? Ini juga reuni sekolah. Kau harus datang.”
Gabrielle mengetuk kepalanya pelan.. Baru saja ia berniat tidak menghandiri undangan berwarna coklat itu.
“Ya,
Terimakasih sudah mengingatkanku, aku akan segera kesana..”. setelah terdengar
suara sahutan diluar, Bril membenarkan pakaian dan rambutnya yang berantakan. Beberapa
detik kemudian ia segera berjalan menuju pintu ruangan, tapi matanya beralih
menatap lagi kertas tebal berwarna coklat di mejanya. Dia menatap sebentar
kemudian membuka pintu, keluar dari ruangan.
Bril menatap
jam tangan metalik yang melingkar di tangannya tak bersemangat kemudian beralih
menatap kertas tebal berwarna coklat itu. Lagi-lagi dia menghela nafas.. dia
ingin tak pergi tapi sahabat-sahabatnya bersikeras dia harus datang kalau tidak
mereka akan datang sendiri unruk menjemput paksa.
Lagi-lagi HP
itu berdering entah yang keberapa. Ada 28 pesan pendek.Tentu dia tahu siapa
yang mengirim sms sebanyak itu. Wanita itu mengalihkan pandangannya ke cermin
panjang. Wajahnya nampak sangat buruk! Ini adalah ulang tahun Ghazi. Orang yang
sudah puluhan kali mengirim pesan tadi. Mungkin nanti Julia akan menertawakan
atau bahkan, kasihan.
Well, seperti apa
yang dipikirkan. Dia memang ‘gak mood’. Dia melirik orang sekitar yang
memakai pakaian formal, belum lagi mereka juga memandangnya dengan aneh. Well,
ini bukan salahnya! Di kertas coklat itu tidak dituliskan harus memakai pakaian
formal atau tidak!
Hingar bingar
musik ballad langsung menyergap kedua telinga Gabrielle. Oh astaga, demi
Tuhan dia sangat benci dengan keramaian!! Tak seperti tamu lain yang langsung
pergi ke ‘tempat utama’, Gabrielle memilih duduk di pojok, tempat dimana
sinar lampu spot tidak meneranginya dengan bulatan-bulatan yang membuat dirinya
semakin pusing dan tempat yang jauh dari speaker besar yang hampir ada
dimana-mana. Gabrielle melirik ke sekitar, kemana sahabat-sahabatnya? Mereka
yang tadi merecoki dirinya untuk datang dan sekarang setelah dia datang kenapa
dia sama sekali tak melihat salah satu batang hidung mereka?? Aisshh..
Pandangannya
tiba-tiba teralih ke depan. Diantara kerumunan orang-orang yang memakai pakaian
formal itu ada seseorang yang mencolok. Seserang yang dikenalnya.. seseorang
yang…
“Yaa!” Bril
hampir saja memecahkan gelas itu kalau ia tak segera sadar siapa orang yang
mengagetkannya.
“Kalian mau
membuatku mati, huh??”. Namun tetap saja tiga pria itu cengengesan tanda
tak menyesal sama sekali mengangetkan gadis itu.
“Astaga, kau
memang penjahat fashion. Mana pakaian formalmu?” Tanya Ghazi
“Sudahlah aku
sedang tidak ingin diganggu.”
“Kau tau kan
aku memberimu undangan VIP dan itu pasti punya maksud.”
“Ya, yaa…ya
sudahlah.”
“Tapi lumayan
lah, kau memakai high heels. Kalau saja memakai sneakers pasti aku sudah
menendangmu dari sini.”
Lagipula reuni
bukanlah hal yang menyenangkan. Terlebih dia harus bertemu pria aneh itu.
Gabrielle
memutuskan untuk pulang setelah SM. The ballad membawakan lagu “Only wind”.
Entah kemana arah mobil sportnya itu, tiba-tiba ia sampai ke tempat ini.
Lamunan
Gabrielle terhenti, airmatanya mengalir. Sampai saat ini ia bahkan tidak tahu
apa itu kebahagiaan. Ia berteriak tertahan, melepaskan semua yang lama ia
pendam, tapi hatinya semakin kecewa menyadari tidak ada siapapun yang
mendengarnya.
Hari ini tepat setelah 3 tahun dia memutuskan untuk sekolah ke
Rusia. Bahkan setelah kepulangannya, suasana masih saja sama. Dia menyetir
sendiri kali ini, entah apa yang dikatakan kedua orang tuanya jika mereka tahu
Bril sudah bisa mengendarai mobil sendiri.
“ Gosh, I have to get my own driving license.” Gumamnya.
Apakah puncak Bogor masih sama? Bril membuka GPS, mencari jalan
menuju Puncak Bogor. Tunggu, ini tahun baru. Jalanan pasti macet. Bodoh, dia
tidak mau terjebak semalaman disini sendirian hanya karena ingin melihat tempat
terkahirnya bertemu pria itu beberapa tahun lalu.
Meski ingatannya sedikit memudar, namun ia masih ingat percakapan
terakhir..
“Aku akan
menyelesaikan studiku ke Yaman, Bril. Ah, tapi masih kurang 4 Juz lagi.”
“Kalau begitu kau harus cepat menyelesaikannya. Aku akan
mendoakanmu”
Hadid mengangguk pelan, senyumnya selalu meneduhkan. Bril
memandangnya lekat, tapi Hadid mengalihkan pandangan, mengalihkan pembicaraan.
Ah, iya.. mereka berbeda. Mungkin apa yang tidak boleh bagi Hadid, boleh
baginya.
….
Lamunannya masih terus berlanjut, saat dimana setiap hari ia
melihat Hadid duduk di lorong sekolah, membaca ayat demi ayat dengan suara
merdu. Matanya tidak pernah beranjak dari situ. Entah kenapa hatinya tersayat
ketika menggenggam kalung salib di dadanya.
“Itu adalah suara adzan.” Ucap Hadid dengan suara beratnya, seperti
biasa. Hanya beberapa kata saja, sudah cukup membuat jantungnya serasa meleleh.
Itu terlalu berlebihan! tapi bukankah cinta memang selalu berlebihan? Jadi jika
Tuhan memang mentakdirkannya menyukai manusia secara berlebihan, Bril mungkin
akan menyerah saja. Walaupun dia tahu kemana ujunngnya, dan ia cukup tahu diri.
Bril mengeluarkan smartphone nya dari dalam saku, berniat mencari
mp3 suara adzan. Adakah suara adzan yang paling merdu di dunia ini? Sungguh
membuatnya penasaran. Namun, tangan Hadid memberi isyarat agar Bril
menghentikannya. Oh ya, mungkin ini salah satu cara menghormati adzan itu.
Beberapa menit kemudian, adzan berhenti. Tapi Bril masih berdiri
dibalik tembok, menyisakan beberapa langkah dari orang yang sebenarnya sangat
ia inginkan, membuatnya semakin merasa ‘ini tidak mungkin’.
“Kenapa masih disitu? Kau boleh duduk disini.” Hadid menunjuk
tempat beberapa senti dari tempatnya duduk.
“Bolehkah?” Gabrielle masih tidak yakin. Bahkan kini matanya
membelalak. Namun melihat Hadid mengangguk dengan senyum khasnya membuat ia
tersadar.
--
Ayah Gabrielle marah besar ketika mendapati smartphone anaknya
berisi lantunan suara adzan dan bukannya lagu-lagu rohani yang selama 17
tahun dia ajarkan kepada putri semata wayangnya itu. Benar, ini seperti meludah
tepat di wajahnya, sungguh menyakitkan. Ayah Ralph akan dilantik menjadi Pastor
beberapa minggu lagi namun mendapati putrinya seperti ini, entah apa yang akan
terjadi jika orang-orang mengetahuinya.
Gabrielle menangis sejadi-jadinya, tapi entah kenapa ia tidak mau
memeluk kaki Ayah Ralph. Dia menangis, namun tak beranjak dari tempatnya
berdiri. Dia bahkan tidak merasa menyesal. Mama segera menelepon Joane,
mempersilahkan ibu baptisnya itu untuk menghukum Gabrielle bagaimanapun
caranya.
“Kau akan sekolah di Rusia.”
Gabrielle mulai membuka mulutnya, ingin member penolakan. Namun
ayahnya segera melanjutkan…
“Sudah kuputuskan. Ayah harap kau belajar banyak disana.”
oleh : penulis
oleh : penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar