Kamis, 09 Maret 2017

Contoh Teks Narasi Sudut Pandang Orang Ketiga Serba Tahu

GABRIELLE DAN HADID
 
Tangan perempuan itu masih saja menggenggam kertas tebal berwarna coklat yang baru saja ia dapatkan. Ia bahkan tak tahu ini akan terjadi. Kenapa? Kenapa dia begitu bodoh?
HP touchscreen nya tiba-tiba saja bernyanyi membuatnya tersadar kembali kedunianya.
“Ada apa? Aku sedang disekolah. Ya ya aku ingat, nanti aku akan kesana,”  perempuan itu menghela nafasnya sambil menutup sambungan telepon dan melempar HPnya begitu saja ke sofa.
“Bril?”, Terdengar suara teman yang dikenalnya mengetuk pintu ruangan.
“Ya, ada apa?” sahut Gabrielle dengan suara hampir tidak terdengar.
“Kau tidak melupakan acara ulang tahun teman kita kan? Ini juga reuni sekolah. Kau harus datang.”
Gabrielle mengetuk kepalanya pelan.. Baru saja ia berniat tidak menghandiri undangan berwarna coklat itu.
“Ya, Terimakasih sudah mengingatkanku, aku akan segera kesana..”. setelah terdengar suara sahutan diluar, Bril membenarkan pakaian dan rambutnya yang berantakan. Beberapa detik kemudian ia segera berjalan menuju pintu ruangan, tapi matanya beralih menatap lagi kertas tebal berwarna coklat di mejanya. Dia menatap sebentar kemudian membuka pintu, keluar dari ruangan.
Bril menatap jam tangan metalik yang melingkar di tangannya tak bersemangat kemudian beralih menatap kertas tebal berwarna coklat itu. Lagi-lagi dia menghela nafas.. dia ingin tak pergi tapi sahabat-sahabatnya bersikeras dia harus datang kalau tidak mereka akan datang sendiri unruk menjemput paksa.
Lagi-lagi HP itu berdering entah yang keberapa. Ada 28 pesan pendek.Tentu dia tahu siapa yang mengirim sms sebanyak itu. Wanita itu mengalihkan pandangannya ke cermin panjang. Wajahnya nampak sangat buruk! Ini adalah ulang tahun Ghazi. Orang yang sudah puluhan kali mengirim pesan tadi. Mungkin nanti Julia akan menertawakan atau bahkan, kasihan.
Well, seperti apa yang dipikirkan. Dia memang ‘gak mood’. Dia melirik orang sekitar yang memakai pakaian formal, belum lagi mereka juga memandangnya dengan aneh. Well, ini bukan salahnya! Di kertas coklat itu tidak dituliskan harus memakai pakaian formal atau tidak!
Hingar bingar musik ballad langsung menyergap kedua telinga Gabrielle. Oh astaga, demi Tuhan dia sangat benci dengan keramaian!! Tak seperti tamu lain yang langsung pergi ke ‘tempat utama’, Gabrielle memilih duduk di pojok, tempat dimana sinar lampu spot tidak meneranginya dengan bulatan-bulatan yang membuat dirinya semakin pusing dan tempat yang jauh dari speaker besar yang hampir ada dimana-mana. Gabrielle melirik ke sekitar, kemana sahabat-sahabatnya? Mereka yang tadi merecoki dirinya untuk datang dan sekarang setelah dia datang kenapa dia sama sekali tak melihat salah satu batang hidung mereka?? Aisshh..
Pandangannya tiba-tiba teralih ke depan. Diantara kerumunan orang-orang yang memakai pakaian formal itu ada seseorang yang mencolok. Seserang yang dikenalnya.. seseorang yang…
“Yaa!” Bril hampir saja memecahkan gelas itu kalau ia tak segera sadar siapa orang yang mengagetkannya.
“Kalian mau membuatku mati, huh??”. Namun tetap saja tiga pria itu cengengesan tanda tak menyesal sama sekali mengangetkan gadis itu.
“Astaga, kau memang penjahat fashion. Mana pakaian formalmu?” Tanya Ghazi
“Sudahlah aku sedang tidak ingin diganggu.”
“Kau tau kan aku memberimu undangan VIP dan itu pasti punya maksud.”
“Ya, yaa…ya sudahlah.”
“Tapi lumayan lah, kau memakai high heels. Kalau saja memakai sneakers pasti aku sudah menendangmu dari sini.”
Lagipula reuni bukanlah hal yang menyenangkan. Terlebih dia harus bertemu pria aneh itu.
Gabrielle memutuskan untuk pulang setelah SM. The ballad membawakan lagu “Only wind”. Entah kemana arah mobil sportnya itu, tiba-tiba ia sampai ke tempat ini.
Lamunan Gabrielle terhenti, airmatanya mengalir. Sampai saat ini ia bahkan tidak tahu apa itu kebahagiaan. Ia berteriak tertahan, melepaskan semua yang lama ia pendam, tapi hatinya semakin kecewa menyadari tidak ada siapapun yang mendengarnya.
Hari ini tepat setelah 3 tahun dia memutuskan untuk sekolah ke Rusia. Bahkan setelah kepulangannya, suasana masih saja sama. Dia menyetir sendiri kali ini, entah apa yang dikatakan kedua orang tuanya jika mereka tahu Bril sudah bisa mengendarai mobil sendiri.
“ Gosh, I have to get my own driving license.” Gumamnya.
Apakah puncak Bogor masih sama? Bril membuka GPS, mencari jalan menuju Puncak Bogor. Tunggu, ini tahun baru. Jalanan pasti macet. Bodoh, dia tidak mau terjebak semalaman disini sendirian hanya karena ingin melihat tempat terkahirnya bertemu pria itu beberapa tahun lalu.
Meski ingatannya sedikit memudar, namun ia masih ingat percakapan terakhir..
“Aku akan menyelesaikan studiku ke Yaman, Bril. Ah, tapi masih kurang 4 Juz lagi.”
“Kalau begitu kau harus cepat menyelesaikannya. Aku akan mendoakanmu”
Hadid mengangguk pelan, senyumnya selalu meneduhkan. Bril memandangnya lekat, tapi Hadid mengalihkan pandangan, mengalihkan pembicaraan. Ah, iya.. mereka berbeda. Mungkin apa yang tidak boleh bagi Hadid, boleh baginya.
….
Lamunannya masih terus berlanjut, saat dimana setiap hari ia melihat Hadid duduk di lorong sekolah, membaca ayat demi ayat dengan suara merdu. Matanya tidak pernah beranjak dari situ. Entah kenapa hatinya tersayat ketika menggenggam kalung salib di dadanya.
“Itu adalah suara adzan.” Ucap Hadid dengan suara beratnya, seperti biasa. Hanya beberapa kata saja, sudah cukup membuat jantungnya serasa meleleh. Itu terlalu berlebihan! tapi bukankah cinta memang selalu berlebihan? Jadi jika Tuhan memang mentakdirkannya menyukai manusia secara berlebihan, Bril mungkin akan menyerah saja. Walaupun dia tahu kemana ujunngnya, dan ia cukup tahu diri.
Bril mengeluarkan smartphone nya dari dalam saku, berniat mencari mp3 suara adzan. Adakah suara adzan yang paling merdu di dunia ini? Sungguh membuatnya penasaran. Namun, tangan Hadid memberi isyarat agar Bril menghentikannya. Oh ya, mungkin ini salah satu cara menghormati adzan itu.
Beberapa menit kemudian, adzan berhenti. Tapi Bril masih berdiri dibalik tembok, menyisakan beberapa langkah dari orang yang sebenarnya sangat ia inginkan, membuatnya semakin merasa ‘ini tidak mungkin’.
“Kenapa masih disitu? Kau boleh duduk disini.” Hadid menunjuk tempat beberapa senti dari tempatnya duduk.
“Bolehkah?” Gabrielle masih tidak yakin. Bahkan kini matanya membelalak. Namun melihat Hadid mengangguk dengan senyum khasnya membuat ia tersadar.
--
Ayah Gabrielle marah besar ketika mendapati smartphone anaknya berisi  lantunan suara adzan dan bukannya lagu-lagu rohani yang selama 17 tahun dia ajarkan kepada putri semata wayangnya itu. Benar, ini seperti meludah tepat di wajahnya, sungguh menyakitkan. Ayah Ralph akan dilantik menjadi Pastor beberapa minggu lagi namun mendapati putrinya seperti ini, entah apa yang akan terjadi jika orang-orang mengetahuinya.
Gabrielle menangis sejadi-jadinya, tapi entah kenapa ia tidak mau memeluk kaki Ayah Ralph. Dia menangis, namun tak beranjak dari tempatnya berdiri. Dia bahkan tidak merasa menyesal. Mama segera menelepon Joane, mempersilahkan ibu baptisnya itu untuk menghukum Gabrielle bagaimanapun caranya.
“Kau akan sekolah di Rusia.”
Gabrielle mulai membuka mulutnya, ingin member penolakan. Namun ayahnya segera melanjutkan…
“Sudah kuputuskan. Ayah harap kau belajar banyak disana.”

oleh : penulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar