Minggu, 12 Maret 2017

Perjalanan yang Penuh Makna



Perjalanan kali ini membawaku ke sebuah tempat yang penuh makna. Jalanan yang berkelok dan naik turun meski tidak separah jalanan yang kulewati ketika pulang ke Lumajang namun tetap bernilai perjuangan mengingat tujuan kita kesana adalah untuk saling berbagi.
Nampaknya pagi ini langit memahami perjalanan kita, Allah biarkan awan memayungi dan sinar matahari menyinari. Meski sempat mendung dan membuat kita  khawatir jikalau hujan menghambat acara kali ini.
Tidak butuh waktu lama, sekitar satu jam kita telah sampai di tempat yang sejak beberapa hari lalu kami rindukan. Madrasah Ibtidaiyah Nurul Ulum, begitulah nama indahnya. Kenapa indah? Karena arti dari Nurul Ulum adalah Cahaya Ilmu. Menunjukkan betapa bersinarnya Ilmu Allah, siapapun yang menuntut dan mengamalkannya maka menjadikan hidupnya bercahaya. Akhlaqul karimah, kira-kira seperti itulah angan saya menggambarkan arti nama itu.
Ketika saya pertama kali menginjakkan kaki disana, bukan, ketika mata saya tertuju ke tempat itu.. sungguh diluar dugaan. Saya melihat empat puluh pasang mata yang berbinar, senyum tulus nan lugu yang menyimpul indah di ujung bibir mereka dan suara-suara penuh semangat mencari ilmu di tempat yang jauh dari bayangan manusia normal ketika memikirkan kata “sekolah”.
Ruangan yang lebih mirip garasi mobil, tanpa bangku, tanpa meja, tanpa hiasan dinding, tanpa almari buku, dan bahkan hanya ada beberapa papan tulis kapur.
Saya baru menyadari tidak ada tiang bendera disini. Tidak ada lapangan olahraga, juga perpustakaan.
Gedung sekolah yang lebih mirip garasi itu bergandengan dengan rumah Kepala Sekolah. Dindingnya tidak sepenuhnya tembok, sudah pasti udara sangat panas disana. Guru-guru yang mengajar pasti super hebat! Mereka menjamu kami dengan hangat, dengan senyuman dan sambutan sholawat.

Allahu Akbar, Mashaa Allaah.. begitulah kiranya hatiku terasa berat ketika mendengar lantunan sholawat dari mereka.  Antara sesak, bahagia dan sukacita.



Beberapa jam kami larut dalam suasana. Kita berkenalan, menyanyi bersama, melantunkan sholawat, bermain, dan menguji kemampuan dengan saling melempar soal. Mashaa Allah begitu bersemangatnya mereka mengacungkan tangan, mencoba menjawab soal dengan percaya diri meski dengan keadaan serba kekurangan.


Kepala sekolah disana mulai bercerita, tentang keadaan Madrasah ini. Cerita bahagia, yang diiringi duka. Beliau mengatakan jika seseorang telah mewakafkan tanahnya untuk Madrasah ini. Peletakan batu pertama akan dilakukan pada awal bulan April. Alhamdulillah… kita sangat sangat lega mendengarnya. Siapakah orang berhati mulia yang mewakafkan tanahnya untuk adik-adik kecilku yang pintar ini? Untuk itu Kepala sekolah akan mengajak kami melihat lokasi setelah sholat dzhuhur.

Sesuai janji sebelumnya, selepas sholat dzuhur kami berangkat bersama meninjau lokasi baru yang akan menjadi MI Nurul Ulum. Kepala sekolah Madrasah mulai membuka cerita duka..
Seseorang yang mewakafkan tanahnya untuk Madrasah ini telah wafat. Innalillahi wa innailaihi roji’un..
Belum sampai seratus harinya. Beliau wafat ketika hendak membersihkan tanah wakaf ini. Sebuah kecelakaan yang menyebabkan beliau harus menyerahkan tanggung jawab kepada orang lain. Allah telah memanggilnya tepat disaat hatinya penuh dengan niat baik. Khusnul khatimah Ya Allah.. beliau adalah manusia yang Engkau rindukan.

Aku menyeka setitik air mata yang menetes tiba-tiba. Kami kembali berjalan menuju madrasah ‘garasi’, kali ini dengan hati dan pikiran yang penuh dengan empati. Sedikit kisah membuat orang menjadi lebih dewasa dg waktu yang singkat. Kuarahkan pandanganku ke kelas, mereka sudah pulang kerumah masing-masing. Namun, senyum dan mata yang berbinar itu masih menyisakan bayangan disana.
Harusnya aku setegar mereka, harusnya aku seceria mereka. Mereka tersenyum dengan ikhlas, menjalani hari dengan bahagia. Menuntut ilmu dengan penuh semangat. Merangkul kawannya, menyayangi sesama. Tidak ada bisikan di belakang, tidak ada udang dibalik batu, tidak saling membenci, dan hidup bersama dalam keadaan seadanya. Bukankah latar belakang kita hampir sama, mengejaar pendidikan meski dalam keadaan kekurangan? Kenapa kita tidak meneladani mereka?


Malang, 12 Maret 2017


Tidak ada komentar:

Posting Komentar