Kamis, 09 Maret 2017

Analisis Sederhana terhadap Kasus Pembiayaan



PENDAHULUAN

Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menyerasikan dan mengembangkan perekonomian dan pembangunan nasional. Kegiatan utama dari perbankan adalah menyerap dana dari masyarakat. Hal ini terutama karena fungsi Bank sebagai perantara (intermediary) antara pihak-pihak kelebihan dana (surplus of funds) dan pihak yang memerlukan dana (luck of funds). Sebagai agent of development, Bank merupakan alat pemerintah dalam membangun perekonomian bangsa melalui pembiayaan semua jenis usaha pembangunan, yaitu sebagai financial intermediary (perantara keuangan) yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara.
Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluang lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah. Bank Syariah lahir sebagai salah satu alternatif terhadap persoalan
bunga Bank, karena Bank Syariah merupakan lembaga keuangan perbankan yang beroperasi dan produknya dengan prinsip dasar tanpa menggunakan sistem bunga dengan menawarkan sistem lain yang sesuai dengan syariah Islam, yaitu sitem nisbah atau bagi hasil.
            Pembiayaan mudharabah merupakan salah satu produk unggulan yang  merupakan produk khas dari Bank Syariah. Namun produk unggulan tersebut belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Hal tersebut ditempuh oleh pengelola Bank Syariah karena berkaitan dengan risiko Bank yang ditimbulkan apabila menerapkan produk Mudharabah cukup tinggi. Akan tetapi, saat ini Bank yang operasionalnya menggunakan prinsip syariah sudah memikirkan cara-cara yang tepat dalam melakukan pembiayaan khususnya pembiayaan yang berkaitan dengan konsep Mudharabah. Sebagaimana yang dijalankan di Bank BNI Syari’ah Cabang Semarang. Pembiayaan mudharabah di Bank BNI Syariah Cabang Semarang tidak terlepas dari mekanisme pelaksanaan perjanjian yang telah ditetapkan berdasarkan syarat dan rukun dalam akad, sesuai dengan yang dikemukakan oleh ulama fiqhiyah dan juga Dewan Syariah Nasional MUI tentang mudharabah.
            Pembiayaan mudharabah ini merupakan pembiayaan yang dilakukan antara shahibul mal sebagai pemilik modal dan mudharib sebagai pengelola modal dengan sistem bagi untung dan rugi (profit and loss sharing). Dalam hal ini modal 100 % dari shahibul mal, sementara pengelolaan dan laporan keuangan dikendalikan oleh mudharib, sehingga dalam kerja sama ini sangat diperlukan prinsip kehati-hatian, kepercayaan dan keterbukaan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Akan tetapi sepandai apapun pihak bank dalam menganalisis setiap permohonan pembiayaan, kemungkinan terjadinya pembiayaan yang macet atau tertunda pasti ada. Oleh karena itu, penulis tertarik menganalisis kasus pembiayaan mudharabah bermasalah pada BNI Syariah.






PEMBAHASAN

A.      Rumusan Masalah
Kasus ini bermula ketika PT. Rolika Caterindo mendapatkan kontrak kerja catering dari PT Dalle Energy pada tanggal 7 Agustus 2007 dengan nilai US$ 40 juta. "Untuk menjalankan kontrak tersebut kami pun mengajukan pinjaman kepada BNI dan pada 2 April 2008, kami pun mendapat fasilitas pembiayaan dari PT BNI Sentra Kredit Menegah Kota berdasarkan nomor surat: JKM/2.3/137/R atas kedua kontrak tersebut. Sejak itu dana pun mulai dicairkan. Dari Rp 40 miliar yang disepakati untuk fasilitas pinjaman, sekitar Rp 18 miliar sudah dicairkan ntuk persiapan kerja dengan pembelian peralatan dan persiapan-persiapan lainnya.
Hingga tanggal 27 Juni 2008 pembiayaan dari PT BNI SKM kota tersebut diambil alih ke BNI Unit Usaha Syariah yang sekarang menjadi PT Bank BNI Syariah berdasarkan surat keputusan pembiayaan No: USY/3/427/R. Pengalihan ke BNI Syariah sendiri dilakukan karena PT. Rolika ingin melakukan bisnis secara syariah. Namun di tengah jalan, PT Dalle Energy ternyata tidak memenuhi kontrak penunjukkan kerja yang telah disepakati sehingga proyek tersebut pun kemudian mati di tengah jalan. "Klien kami terus berupaya bertanya kepada PT Dalle Energy kenapa konrak tidak juga dijalankan dan hingga tanggal 1 September 2009, PT Rolika Caterindo mengirimkan somasi terakhir kepada PT Dalle Energy karena pelaksanaan pekerjaan catering belum bisa dilaksanakan karena berbagai alasan," kata Asri. Hingga akhirnya pada tanggal 9 September 2009 PT Rolika Caterindo melaporkan persoalan ini ke Polres Jakarta Selatan dengan kasus penipuan. Namun polisi jelas Asri tidak bisa ditindaklanjuti laporan karena kurangnya alat bukti. Alat bukti yang dimaksud itu adalah surat verifikasi proyek yang dikeluarkan oleh BNI kepada PT Dalle Energy dan jawaban dari PT Dalle Energy kepada pihak BNI. Surat verifikasi dan jawaban PT Dalle Energy inilah yang dimintakan oleh Rudy selama ini dan selama ini pula selalu tidak diberikan oleh pihak BNI Syariah yang kini menjadi kreditor.
"Klien kami pun kemudian melaporkan hal ini ke Komisi Informasi Pusat KIP yang kemudian menyidangkan kasus sengketa informasi antara Pemohon PT Rolika Caterindo terhadap Termohon BNI Syariah," kata Asri.
Dalam putusannya KIP menyatakan bahwa informasi, dari pemohon merupakan informasi yang terbuka dan dapat diakses oleh publik. BNI Syariah pun kemudian menggugat KIP ini karena dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum dan melampaui wewenannya. Namun kemudian PN Jakpus yang menyidangkan kasus ini memutuskan menolak gugatan BNI Syariah, dan malah menguatkan keputusan KIP untuk memerintahkan Badan Publik memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik. Pemohon dapat mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan karena pengajuan gugatan Penggugat BNI Syariah yang menyatakan tidak menerima putusan Ajudikasi KI sudah melewati batas waktu 14 hari kerja setelah diterimanya putusan berdasarkan UU KIP. "Nah karena saya sudah berusaha dengan berbagai cara mulai dari  ediasi sampai keluarkannya keputusan KIP dan pengadilan sampai ada perintah eksekusi, pihak BNI Syariah tidak juga mau mengeluarkan surat tersebut, maka kami pun melaporkan hal ini ke Bareskrim Polri sejak tanggal 15 Desember lalu dan sekarang kami juga akan pertimbangkan untuk melaporkan pemalusuan ini kepada pihak Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia," tegasnya..

B.       Analisis Masalah
Di dalam pembiayaan dikenal berbagai jenis fasilitas pembiayaan. Namun demikian, secara garis besar jenis pembiayaan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu pembiayaan konsumtif, pembiayaan untuk menambah modal kerja, dan pembiayaan untuk pembiayaan pembelian barang modal. Dari tiga tersebut, yang paling berpotensi menimbulkan undisbursed loan adalah fasilitas pembiayaan investasi karena penarikannya pada umumnya dikaitkan dengan kemajuan sebuah proyek sehingga penarikannya dilakukan secara bertahap. Dari sini jelas bahwa apabila sebuah proyek tidak mengalami kemajuan, pembiayaan yang telah disetujui bank tidak akan pernah dizinkan untuk ditarik tanpa didukung sasaran pembiayaan yang telah disepakati. Karena sifat penarikan yang dilakukan secara bertahap, pada umumnya bank akan mengenakan commitment fee kepada debitur terhadap jumlah kredit yang seharusnya menurut skedul telah dicairkan, tapi ternyata tertunda. Sementara itu, untuk fasilitas pembiayaan modal kerja seharusnya jarang sekali menimbulkan undisbursed loan karena pada umumnya fasilitas telah ditarik seluruhnya di muka oleh debitur dan ditempatkan pada rekening giro sebagai sarana transaksi yang dapat dicairkan melalui penerbitan cek atau bilyet giro.
Pada kasus PT Rolika Caterindo, dapat diperkirakan bahwa penyebab dana pembiayaan tidak dapat dicairkan, terdapat beberapa kemungkinan:

1. Riwayat kredit buruk

Menurut informasi yang diperoleh dari BNI Syariah, PT Rolika Caterindo melakukan Akad Pembiayaan Musyarakah Nomor 45/2008 tertanggal 27 Juni 2008. Berdasarkan perjanjian ini, Rolika telah mendapatkan pembiayaan dari bank sejumlah Rp3,7 miliar. Kucuran dana tersebut akan dipergunakan untuk takeover fasilitas Rolika dari PT Bank Negara Indonesia Tbk dan untuk modal kerja jasa katering. Jangka waktu pembiayaan yang diperjanjikan adalah 12 bulan. Namun, pada bulan Agustus 2009, Rolika berhenti membayar. Sehingga, utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih berdasarkan akad tersebut adalah Rp3,4 miliar. Dengan Akad Pembiayaan Musyarakah lainnya Nomor 46/2008 tertanggal 27 Juni 2008, BNI Syariah mengucurkan dana sejumlah Rp3,725 miliar untuk tujuan yang sama. Dengan pembiayaan ini, BNI Syariah memberikan jangka waktu pembayaran utang selama 20 bulan, berarti berakhir pada 26 Februari 2010. Lagi-lagi pada bulan Agustus 2009, Rolika juga tak lagi membayar utang-utangnya sejumlah Rp2,618 miliar. Ditambah biaya tunggakan sejumlah Rp8,6 juta, utang Rolika menjadi 2,627 miliar. Rupanya, Rolika tidak hanya membuat dua akad pembiayaan. Rolika juga membuat Akad Pembiayaan Musyarakah Nomor 47/2008 tertanggal 27 Juni 2008. Akad Nomor 47/2008 ini memperjanjikan Rolika mendapat kucuran dana sejumlah Rp10,395 miliar. Jangka waktu yang diperjanjikan adalah 60 bulan, yaitu 26 Juni 2013. Sama dengan dua akad sebelumnya, bulan Agustus 2009, Rolika tidak membayar sisa kewajibannya sebesar Rp8,07 miliar.

3. Reputasi perusahaan buruk

Dengan adanya kredit macet tersebut, secara otomatis reputasi PT Rolika Caterindo menjadi buruk. Hal tersebut juga menjadi pertimbangan bank untuk melanjutkan akad pembiayaan. Karena, setiap pembiayaan tercatat dalam Bank Indonesia.

           

PENUTUP

Berdasarkan analisis yang telah penulis paparkan di atas, dapat  disimpulkan bahwa kedua belah pihak sama-sama memiliki kesalahan dalam melakukan pembiayan mudharabah. Pihak BNI tidak menyerahkan surat verifikasi, sedangkan PT. Rolika tidak membayar angsuran dan nisbahnya. Oleh karena itu, solusi terbaik adalah dengan melimpahkan kasus tersebut kepada yang berwenang. Dalam kasus ini, peran Otoritas Jasa Keuangan sangat penting untuk menyelesaikan sengketa kedua belah pihak agar image perbankan syariah dalam masyarakat tidak menjadi buruk, dan tentunya PT Rolika Caterindo dapat melanjutkan proyeknya.




DAFTAR PUSTAKA



Z, Wangsawidjaja.2013.Pembiayaan Bank Syariah.Jakarta:Gramedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar